Tukang Gorengan vs Amerika

(Mengapa Tukang Gorengan Bisa Bikin Amerika Gerah?)
Pagi itu, Mang Asep sedang sibuk menggoreng tahu isi di gerobaknya yang ngetem di ujung gang. Seperti biasa, para pelanggan mulai berdatangan: ada ibu-ibu yang habis nganter anak sekolah, ada mahasiswa yang buru-buru ke kampus, dan ada juga driver ojol yang mampir sambil nunggu orderan.
“Berapa, Mang?” tanya si ibu-ibu.
“Sepuluh ribu, Bu. Mau bayar cash atau QRIS?” jawab Mang Asep sambil senyum.
Ibu itu merogoh HP, buka aplikasi dompet digital, tap, dan bunyi “bip” menandakan pembayaran sukses. Cepat, aman, tanpa kembalian ribet.
Tapi siapa sangka, di balik gorengan dan QRIS-nya Mang Asep, ada negara adidaya yang mulai keringetan?
QRIS dan Mimpi Digital Indonesia
QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) adalah sistem pembayaran digital lintas platform yang diluncurkan oleh Bank Indonesia. Satu QR code bisa dipakai oleh semua penyedia layanan keuangan digital—Gopay, OVO, DANA, hingga bank digital.
Dengan QRIS, siapa pun bisa menerima pembayaran non-tunai: dari warteg, tukang sayur, hingga tukang gorengan. Ini bagian dari visi besar: ekonomi digital inklusif.
Indonesia tak lagi bergantung pada alat pembayaran luar. Semua data transaksi ada di dalam negeri. Tak ada potongan dari Visa atau Mastercard. Semuanya lokal, semuanya efisien.
Dan di situlah masalahnya—bagi Amerika.
Kenapa Amerika Gerah?
Perusahaan seperti Visa dan Mastercard mendominasi sistem pembayaran global. Setiap transaksi lewat mereka, ada fee yang mengalir ke luar negeri. Sekarang bayangkan: 270 juta orang Indonesia mulai bertransaksi pakai sistem lokal tanpa melibatkan mereka. Itu artinya: miliaran rupiah lepas dari genggaman mereka setiap harinya.
Apalagi QRIS tak cuma lokal, tapi sedang dikembangkan untuk bisa dipakai antarnegara—mulai dari Thailand, Malaysia, Singapura, sampai Jepang.
Itu sebabnya, dalam beberapa pertemuan diplomatik, Amerika dikabarkan memberi “pesan halus” agar Indonesia mempertimbangkan kembali dominasi QRIS dan memberi ruang pada pemain global.
Dari Gorengan sampai Geopolitik
Kita mungkin mengira geopolitik itu urusan kapal perang, perang dagang, dan teknologi tinggi. Tapi hari ini, gorengan Mang Asep yang dibayar lewat QRIS bisa jadi bagian dari peta perang besar: perebutan kendali atas sistem pembayaran dunia.
Semakin banyak negara membangun sistemnya sendiri, semakin goyah dominasi dolar dan perusahaan pembayaran global. QRIS adalah langkah kecil Indonesia menuju kedaulatan digital.
Mang Asep mungkin cuma tukang gorengan, tapi ketika ia bilang, “Mau bayar pakai QRIS?” — itu bukan sekadar tanya. Itu simbol bahwa Indonesia pelan-pelan sedang berdiri di atas kaki sendiri.
Dan mungkin, di suatu ruang rapat di Washington, ada petinggi korporasi yang sedang berkata, “We have a problem… in a small alley in Jakarta.” (isn)