Ibu ideal pendidik di era digital
*Yudhi Kurnia, Bandung
Ibu, sosok yang dalam berjalannya hidup seorang manusia menempati tempat yang tinggi. Bahkan, Rasulullah SAW menyebutkan sebanyak 3 kali saat ditanyai siapa orang yang layak untuk dihormati, baru setelah itu adalah ayah. Penyebutan tersebut dimaknai betapa seorang ibu mendapatkan tiga hal saat mengalami kesulitan yakni pertama saat mengandung, kedua melahirkan dan ketiga adalah menyusui. Setiap manusia saat ini tentunya mempunyai seorang ibu yang telah melahirkannya. Manusia wajib untuk menghormat seorang ibu. Sebutan ibu tak hanya untuk sosok ibu secara biologis akan tetapi ibu secara ideologis. Ibu yang melahirkan dan mengurusinya atau sosok yang tidak melahirkan namun mengurusi membesarkan hingga besar. Selain itu, ungkapan yang menyatakan syurga berada dibawah telapak kaki ibu menjadi sosok ibu menjadi sangat penting, hingga di kakinya pun ada syurga. Jika kita menelisik sejarah manusia, maka seorang ibu merupakan sosok yang sangat cepat beradaptasi dengan keadaan, pandai untuk mengatur ritme kehidupan baik untuk dirinya maupun untuk orang-orang yang ada disekelilingnya. Kita ambil contoh, seorang ibu sudah mulai bangun semenjak dini hari mempersiapkan segala sesuatu untuk persiapan hari yang akan dihadapi, bukan hanya untuk dirinya akan tetapi untuk anak dan juga suaminya.
Pendidik pertama manusia
Ungkapan manis yang menggambarkan betapa seorang ibu adalah manusia yang sangat berpengaruh bukan hanya terhadap perkembangan fisik manusia akan tetapi pada level pengetahuan adalah “Ibu sebagai madrasah / sekolah pertama seorang manusia”. Sekolah seperti yang kita ketahui sebagai tempat pembentukan manusia, penggemblengan seorang anak didik untuk dijadikan manusia yang bisa bermanfaat untuk masa yang akan datang. Sebagai sekolah pertama tentu seorang ibu wajib untuk membekali diri agar benar-benar menjadi sekolah yang baik untuk perkembangan anak-anaknya. Meski demikian, sampai saat ini kita semua belum pernah mendengar adanya sekolahan tempat belajar untuk menjadi orang tua. Untuk itu wajar jika banyak sekolah-sekolah pertama untuk seorang manusia itu gagal membentuk manusia-manusia seutuhnya karena kurangnya ilmu pengetahuan yang dimiliki seorang ibu. Terkadang kita sering menemukan bahwa seorang ibu mendidik adalah berbekal dari pendidikan yang diterapkan orang tuanya dahulu, sehingga banyak pola pendidikan yang dahulu diterapkan sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan pendidikan di saat ini. Pada posisi ini ibu wajib untuk terus bisa belajar, mampu terus berkembang terutama dalam mempelajari bagaimana mendidik seorang anak yang pada masa kini. Kita sering menemukan anak-anak gagal dalam pembelajran di sekolah seringkali disebabkan gagal melewati pendidikan pertama, di sekolah pertama yakni di rumah. Untuk itu, rumah adalah bagian penting dalam perkembangan kemampuan manusia menjalani kehidupan terutama dalam menghadapi tantangan yang dia hadapi di jenjang pendidikan di luar rumah.
Selayaknya sebagai sebuah sekolah, maka pendidikan di dalam rumah sejatinya harus mempunyai kurikulum. Hal ini sangat berguna untuk menjadi panduan bagaimana pendidikan dalam rumah bisa dilakukan. Kurikulum yang disusun tentunya disesuaikan dengan perkembangan dari anak-anak itu sendiri. Penyusunnya adalah orang tuanya, salah satunya termasuk adalah ibu. Pada kehidupan sekolah sebenarnya kurikulum adalah pegangan yang harus terus dipegang, layaknya peta yang digunakan oleh seorang pendaki untuk menemukan tujuan dan sebagai penunjuk jalan. Begitupun kurikulum di rumah, tentunya ibu adalah sosok yang berperan sebagai guru yang menjadi ruhnya dalam sebuah pendidikan. Penyusunan kurikulum wajib dilakukan agar arah dan tujuan dari pendidikan anak tepat sasaran dan tidak sampai terjadi mal praktik pendidikan. Kurikulum rumah bisa dilakukan dengan beragam pembiasaan baik yang diterapkan untuk anak-anak. Sebagai contoh pembiasaan untuk bangun pagi, membiasakan menggosok gigi, makan dengan teratur, aturan penggunaan perangkat gadget, jadwal belajar, jadwal mengaji sampai dengan daftar penyediaan makanan yang sehat dan menyehatkan. Layaknya sebuah sekolah tentu kurikulum rumah juga memerlukan adanya refreshing dengan kegiatan luar rumah yang menyenangkan.
Kurikulum rumah yang merupakan kurikulum pertama untuk seorang anak manusia adalah kurikulum yang wajib untuk menerapkan pendidikan karakter di dalamnya. Hal ini kembali kepada peran dan pengaruh seorang ibu di mana keseharian ibu dilewatkan banyak dengan anak-anaknya. Sehingga dengan demikian penerapan pendidikan karakter semenjak awal adalah terdapat pengaruh dari sosok ibu. Kita seringkali melihat anak-anak yang begitu sopan dalam berkomunikasi dan bersikap yang ternyata hal tersebut di ajarkan oleh seorang ibu. Konsep pendidikan tentang 3 kata kunci pendidikan tolong, maaf dan terima kasih yang saat ini dunia sekolah menggunakan hal tersebut untuk membina karakter anak-anak didiknya. Pada konsep pendidikan merdeka belajar misalnya, ruang karakter sangat besar. Pembentukan karakter siswa yang bertumpu pada konsep Pelajar Pancasila adalah salah satu yang konon akan berhasil jika semenjak awal juga diterapkan pada konsep pendidikan rumah melalui kurikulum rumahnya. Kita semua mengetahui tiga konsep pendidikan yakni sekolah, keluarga dan lingkungan di mana anak tersebut tinggal harus senantiasa bisa bersinergi. Kita semua menginginkan bahwa ketiga hal tersebut jangan sampai bertentangan, konsep pendidikan di keluarga harus mampu membawa kebaikan di dalam pendidikan di sekolah ataupun pendidikan di lingkungan masyarakat. Pendidikan karakter akan bisa diterapkan menjadi satu hal penting dalam kurikulum rumah jika disinergikan dengan teladan yang diberikan oleh orang tuanya di rumah terutama adalah ibu yang keseharian banyak membersamai tumbuh kembang seorang anak.
Ibu adalah sosok yang memiliki teladan dalam kesabaran yang tinggi. Hal ini bisa disaksikan saat mengajarkan beragam hal dalam mendidik anak di rumah. Tentu kita semua setuju ibu adalah seorang pendidik yang tingkat kesabarannya adalah tinggi. Bahkan, semenjak anak baru dilahirkan maka dengan telaten ibu akan menyusui di malam hari sehingga dia sendiri kurang tidur. Atau, saat menggantikan popok yang basah karena anaknya kencing, maka ia dengan sabarnya mengganti meski dengan kondisi terkantuk-kantuk. Ibu yang juga mengajarkan anak untuk pertama kalinya menyantap makanan sendiri, baik itu dengan menggunakan sendok ataupun alat lainnya. Secara telaten ibu akan dengan sabar mengajarkan sesuap demi sesuai nasi bahkan hingga tidak tersisa. Bukan hanya itu saat-saat yang membuat diri seorang ibu diuji kesabaran adalah saat sang buah hati dilanda sakit. Pada fase ini kita akan menyaksikan betapa ibu adalah teladan yang sangat baik dalam kesabaran. Hal yang mungkin jarang kita ketahui ibu adalah sosok yang sangat cepat belajar, baik melalui keadaan (pengalaman) ataupun belajar dari orang lain. Untuk itu, peran ibu untuk bisa mengimbangi kondisi zaman sekarang yang sangat pesat ini seorang Ibu harus bisa cepat dalam belajar terutama pada masa-masa kemajuan teknologi seperti sekarang ini.
Teknologi di tangan Ibu
Jika dahulu ibu-ibu kita semua belajar melalui pengalaman ataupun belajar dari orang yang lebih tua dan yang berpengalaman. Maka saat ini, seorang ibu akan juga belajar namun dengan model yang berbeda. Ibu masa kini akan belajar melalui media yang saat ini mudah untuk diakses, gampang untuk digunakan dan bisa digunakan sambil rebahan. Tak jarang, ibu zaman kini sudah tidak percaya lagi mitos-mitos yang konon pada saat ibu-ibu kita terdahulu masih menggunakannnya. Pada fase ini maka bisa kita katakan bahwa sosok ibu akan senantiasa beradaptasi pada perkembangan zaman saat ini. Kemajuan teknologi yang terjadi saat ini mampu mengubah kebiasaan seorang ibu, terutama pada pendidikan anak ataupun upaya ibu untuk menghibur dirinya. Tak sedikit seorang ibu berbagi informasi dengan media sosial seputar pendidikan anak yang dilakukan. Melalui media sosial tersebut konon menjadi bagian dari aktifitas ibu dalam melepas lara atau kepenatan namun tetap pada jalur kebermanfaatan. Meski, terkadang tak sedikit pula para ibu yang memanfaatkan untuk jalan yang tidak tepat, bahkan menjurus pada hal yang salah. Ujian terbesar seorang ibu adalah berusaha untuk belajar untuk menggunakan model-model baru terutama pada penggunaan media sosial. Banyak yang malah terjerumus kepada hal yang tidak bermanfaat saat bergelut dengan media sosial, pada akhirnya menurunkan derajat seorang ibu di mata anak-anaknya yang menjadi objek didiknya. Lebih parahnya lagi apa yang dilakukannya ditiru oleh anak-anaknya.
Media sosial saat ini cenderung banyak digunakan sebatas hanya untuk hiburan. Konon, konten dari yang mengandung unsur pendidikan adalah hal yang kurang begitu disukai. Hal ini bisa dilihat dari jumlah penonton konten pendidikan yang jauh tertinggal dari jumlah penonton yang hanya sekadar untuk hiburan semata. Seorang ibu yang peka tentunya akan merasakan betul dampak dari menjamurnya informasi-informasi yang hanya mengumbar untuk kebutuhan hiburan semata. Sehingga tanpa ada nilai-nilai yang bernilai edukasi di dalamnya. Hal ini akan berdampak pula pada pendidikan buah hatinya. Kita tentu semua menyadari bahwa media sosial berdampak besar pada perkembangan anak-anak saat ini. Ibu, lagi-lagi akan dituntut untuk mampu menangkap fenomena ini dijadikan jalan untuk bisa terus membersamai tumbuh kembang anaknya bukan hanya secara langsung akan tetapi melalui perantara media sosial atau media digital lainnya. Seorang ibu yang ideal di era ini tentu tidak akan tabu untuk belajar dan berusaha untuk memahami hal-hal baru yang hadir di dunia saat ini. Seorang ibu akan dengan cepat belajar bagaimana untuk mampu bijak dalam menggunakan dan mencontohkannya pada anak-anaknya. Tentu hal ini bukanlah hal mudah, akan tetapi dengan dasar yang dimiliki seorang ibu yang mempunyai naluri dalam melindungi anak-anaknya dari pengaruh jahat dari luar maka seorang ibu ideal akan cepat untuk belajar. Di tangan seorang ibu, bisa jadi media sosial bukan hanya dijadikan sebagai sarana untuk hiburan akan tetapi juga menjadi bagian dalam pendidikan terutama pendidikan untuk anak-anaknya.
Mendidik untuk mampu bijak bermedia sosial bisa dimulai dari ibu. Ibu ideal masa kini tentu harus mampu memanfaatkan media sosial yang ada untuk kebermanfaatan terutama dalam lingkungan keluarga lebih khusus lagi pendidikan anak. Hadirnya UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bagi sebagian kalangan tentu menjadi sebuah perangkat “pengereman” saat kita berada dalam dunia bebas tanpa batas saat ini. Ungkapan Think Before Posting adalah kalimat yang wajib untuk terus diingat agar aktifitas bermedia sosial kita akan terur bermanfaatan. Betapa saat ini banyak orang yang malang dan berakhir di jeruji besi akibat dari posting sesuatu yang melanggar aturan dalam dunia ITE. Bagi seorang ibu wajib untuk senantiasa hati-hati terutama saat beraktifitas di dunia maya. Sekali memposting sesuatu ke internet semisal gambar, video, atau tulisan di interner maka sulit untuk menghapus dan menghilangkannya. Hal ini karena cepatnya penyebaran informasi yang terjadi dan kemudahan dalam proses capture informasi. Banyaknya anak-anak yang terjerumus di dunia maya salah satu penyebabnya adalah kurangnya pengawasan dari orang tua terutama ibu. Hal ini banyak disebabkan bahwa ibu tidak memahami dunia teknologi masa kini. Sehingga seorang ibu banyak “dikadalin” oleh anaknya gegara tidak paham tentang penggunaan media sosial dan lainnya. Tanamkan budaya berpikir sebelum bertindak kepada diri anak-anak sedini mungkin, hal ini hanya mampu dilakukan jika seorang ibu terus berupaya memberikan teladan-teladan terutama pada hal ini. Seorang ibu tidak lantas berbuat sesuatu tanpa dipiking panjang terlebih dahulu.
Sekali dayung direngkuh dua tiga pulau terlampau, peribahasa ini menggambarkan jika dalam satu perbuatan baik maka akan ada banyak manfaatnya. Hal ini jika dikaitkan dengan pendidikan ibu ideal di masa kini tentulah sangat relevan. Seorang ibu yang memberikan pengajaran kebaikan dengan dengan contoh bermedia sosial secara baik. Maka, akan ditiru oleh anaknya untuk juga mampu mengikutinya. Ibu, akan memberikan contoh pada anaknya dengan terus menabung karya-karya positif sebagai rekam jejak karya di dunia maya. Ibu yang baik tentunya merupakan ibu yang ideal sebagai sosok yang pendidik di dalam madrasah rumah. Nilai-nilai positif selalu ia tanamkan baik dalam konsep pendidikan dunia nyata atau pada konsep pendidikan dunia masa kini yang penuh dengan pemanfaatan perangkat teknologi seperti smartphone. Ibu yang mengerti dengan konsep hukum penggunaan internet tentunya tidak akan pernah membagikan informasi yang sifatnya tidak baik, baik itu untuk diri sendiri, keluarga ataupun orang yang akan menontonya nanti. Tindakan seorang ibu dalam bermedia sosial harus didasari dengan kesadaran bahwa rekam jejak di internet itu akan panjang, efeknya juga akan sangat bergantung kepada konten yang kita unggah. Rekam jejak yang baik maka akan menjadi tabungan untuk kehidupan kelak, hal ini tentu senada dengan hadist nabi yang menyatakan bahwa “ilmu yang bermanfaat” pahalanya akan mengalir terus.
Mendidik sesuai zamannya
Pada saat masih kecil tentu kita mengingat bagaimana pola ibu kita memberikan hukuman pada diri kita. Pendidikan satu ibu dengan ibu lainnya tentu berbeda. Hal ini kembali kepada pengetahuannya tentang bagaimana pola asuh anak. Tidak sedikit ibu yang melakukan “mal” praktik pendidikan namun tidak merasakan bahwa yang dilakukan adalah sebuah kesalahan. Sehingga efek yang terjadi adalah terjadi pada jangka panjang. Saat ini banyak sekali perilaku anak-anak di sekolah dikatakan menyimpang atau tidak tepat dikarenakan pola asuh ibu yang tidak tepat terutama pada pemberian hukuman atas kesalahan anaknya. Dunia anak tentulah berbeda dengan dunia orang-orang dewasa. Kondisi-kondisi tertentu di orang dewasa tidak akan mampu diterapkan pada dunia anak-anak pastinya. Akan tetapi, seringkali orang tua yang tidak paham akan terus memberikan pemahaman kepada anak-anak bertujuan untuk menyadari kesalahannya dengan memukul, menjewer atau yang lainnya. Ibu yang ideal baik di masa “colonial” ataupun pada era digital saat ini sudah tentu akan membekali diri dengan belajar terkait dengan bagaimana memberikan hukuman-hukuman atas kesalahan yang dilakukan oleh anaknya. Kesalahan dalam memberikan hukuman maka akan berakibat pada perkembangan anak di masa yang akan datang. Pada zaman ini tentunya tidak akan tepat menerapkan hukuman sama persis dengan masa dahulu. Melalui kemajuan teknologi bisa jadi praktik-praktik hukuman yang diterapkan akan menjadi “boomerang” saat kejadian hukuman tersebut sampai viral misalnya. Untuk itu ibu wajib untuk terus mampu mempelajari bagaimana cara yang tepat memberikan efek jera bagi anak-anak yang melakukan kesalahan di era digital saat ini.
Di beberapa literatur terkait pola asuh anak, terjadi banyak kesalahan dari orang tua terutama dalam membina anak-anak di dunia digital. Beberapa diantaranya karena terlalu membuka akses pada internet secara luas tanpa batasan dan tanpa pengawasan. Terlalu memercayai anak pada pengasuhan di era digital sekarang ini juga bukan merupakan hal yang tidak tepat. Aturan yang ketat yang diterapkan pun sejatinya mempunyai efek anak menjadi tidak terbuka dengan yang mereka lakukan. Memberikan pendampingan pada anak terutama yang dilakukan oleh seorang ibu adalah sebuah kewajiban. Memberikan penjelasan terhadap hal yang anak-anak akses juga perlu dilakukan. Hal ini demi memberikan ketenangan kepada ibu tentang sesuatu yang dilakukan oleh anak-anaknya. Kita mungkin pernah dan sering mendengar ada anak yang hilang atau pergi dengan orang lain yang baru dikenal di media sosial misalnya. Hal ini tidak akan terjadi jika orang tua dalam hal ini ibu mengantisipasi sedari awal terkait media yang diakses oleh anaknya. Sedini mungkin ibu harus tahu dan wajib belajar tentang dunia anaknya yang sedang mereka gandrungi. Mengimbangi informasi yang masuk dan diterima oleh anak-anak dengan memberikan penjelasan secara baik tentang mana yang boleh dan mana yang tidak boleh untuk diakses misalnya.
Naluri seorang ibu tentunya begitu peka, apalagi terkait dengan anak-anaknya. Kita seringkali mendengar bahwa perasaan ibu adalah begitu halus. Sehingga seringkali merasakan “getaran” yang seolah mengingatkan manakala terjadi sesuatu dengan anak-anaknya. Akan tetapi hal ini tidaklah menjadi ukuran seorang ibu dalam mengambil keputusan. Diperlukan tolak ukur untuk memastikan bahwa apa yang terjadi itu benar atau tidak. Sebagai contoh jika seorang anak mulai kecanduan dengan bermain games misalnya, ataupun hal lain yang di masa yang akan datang akan berakibat buruk, maka seorang ibu harus mampu untuk mendeteksi dengan menyediakan alat bukti pendukung yang tepat. Pendekatan secara persuasif atas informasi yang wajib diketahui oleh seorang ibu tentang aktifitas anaknya adalah hal yang diperlukan. Pendekatan ini akan membuat anak-anak nyaman dalam menginformasikan segala hal kepada sang ibu. Tentunya akan berbeda saat ibu tidak memahami dan tidak mengetahui bahkan melakukan kesalahan dalam melakukan pendekatan, alih-alih mendapatkan informasi malah anak akan semakin tertutup. Tentu hal ini sangat tidak diinginkan oleh seorang ibu. Pengalaman di masa dahulu saat ibu masih anak-anak tentunya berguna untuk mendeteksi perilaku anak-anak di masa sekarang ini, meski dalam rentang waktu berbeda namun tentunya akan ditemukan persamaan-persamaan terkait dengan perilaku anak dulu dengan sekarang. Kejadian demi kejadian dalam aktifitas pengasuhan anak menjadi sebuah pengalaman berharga untuk seorang ibu. Melalui pengalaman tersebut tentunya didapatkan sebuah pelajaran dan pengajaran yang baik dan akan menjadi pengamalan di masa yang akan datang. Ibu ideal di era milenial saat ini bisa menimba pengalaman dari cerita-cerita ibu lainnya lewat perantara media sosial. Tentu saja hal ini untuk mempermudah bagaimana mengasuh dan memberikan pendidikan kepada anak-anak melalui pengalaman orang lain.
Seorang ibu yang lebih dekat secara personal dengan anaknya tentu berbeda dengan yang jauh. Ibu yang lebih bersahabat dengan anak tentu menempati posisi berbeda dengan ibu yang tidak menempatkan diri sebagai sahabat yang dekat. Pola asuh seperti demikian tentu hanya bisa diterapkan untuk anak-anak yang sudah memasuki masa-masa remaja. Pada fase ini anak enggan bahkan risih untuk diperintah atau dilarang secara terang-terangan. Untuk itu diperlukan cara lain yakni menjadikan sosok ibu layaknya sahabat untuk anak-anak. Kita ketahui pada perkembangan pertumbuhan baik fisik atau psikologi anak saat ini sangatlah cepat. Melalui upaya menjadikan diri ibu sebagai sahabat maka diharapkan ibu akan mampu mendeteksi secara dini permasalahan yang dihadapi seorang anak. Pendidikan melalui pendekatan kedisiplinan perlu dilakukan hal ini guna memberikan pemahaman bahwa dengan kedisiplinan maka arah dan tujuan dari kehidupan manusia akan baik. Berbeda dengan orang yang tidak berdisiplin misalnya, maka di masa mendatang hanya akan mendapatkan masa depan yang suram. Meskipun demikian, kedisiplinan yang diterapkan tentunya harus dalam koridor konteks mendidik. Disiplin yang diterapkan tentunya juga harus bisa memaksimalkan potensi yang dimiliki anak-anak. Untuk itu pendisiplinan dengan cara lebih dekat dengan bersahabat adalah sebuah cara efektif di masa digital saat ini.
*Guru SMP Muhammadiyah 8 Bandung, Mahasiswa Pasca Sarjana Manajemen Pendidikan UAD Yogyakarta
2 Comments
Mantap memberikan motivasi
Terima kasih, Pak Asjun