Indonesia di antara Tren dan Latah Literasi

Yadi Mulyadi

Ian Panelo/CanvaPro (2023)

Ketika berkumpul dengan para praktisi dalam sebuah acara lalu ada obrolan yang sangat penting untuk dicatat muncullah sebuah pertanyaan yang membuatku tertunduk malu. Apakah semua yang kita lakukan dalam gerakan literasi itu hanya ikut-ikutan tren semata?  

Gerakan literasi di negeri ini mulai gencar dilakukah semenjak hasil studi Central Connecticut State University keluar dan membuat semua pihak terhenyak yaitu tentang rendahnya minat baca bangsa Indonesia yang menduduki peringkat kedua dari bawah dari 61 negara. Hal ini diperkuat juga dengan fakta bahwa siswa di Indonesia masih sangat jarang pergi ke perpustakaan. Begitu banyaknya buku di ruang perpustakaan tak tersentuh oleh tangan-tangan mungil siswa untuk menambah pengetahuan dan wawasannya. Hal ini bisa saja hal ini karena semakin berkurangnya motivasi dari dirinya untuk membaca. Bahkan, bisa juga buku dan referensi lainnya kurang menarik dibandingkan dengan sajian menarik dari perangkat berbasis internet, baik melalui komputer maupun gawainya.

Fakta tersebut disambut dengan berbagai gerakan literasi di Indonesia. Banyak anggapan bahwa rendahnya minat baca masyarakat Indonesia disebabkan kurangnya dukungan terhadap penyediaan buku ke daerah-daerah pedalaman. Dari anggapan tersebut, muncullah beragam gerakan mendekatkan buku kepada masyarakat. Sebagai contoh, ada yang berjuang mengantarkan buku dengan beragam sarana transportasi, mulai dari kapal, mobil, motor, sepeda, hingga gerobak. Ada juga beragam profesi yang tergerak hatinya untuk sekadar menyambut gerakan literasi dengan menghiasi angkutan kota ’angkot’ dengan pajangan buku yang bisa dibaca oleh penumpangnya. Ini semua merupakan semangat yang terdorong dari lecutan nilai lembaga luar negeri yang telah menilai daya literasi bangsa yang ’terperosok’ ke level terbawah di dunia.

Tak hanya itu, berbagai lembaga pemerintah pun mulai menata lembaga di bawahnya untuk mendukung gerakan literasi. Coba kita tengok, di pojok ruangan tunggu gedung-gedung pemerintah ataupun ruang terbuka umum, seperti di bandara, terminal, stasiun, bahkan di puskesmas pun terdapat pojok-pojok bacaan. Hal ini dilakukan agar penilaian tentang minat baca masyarakat Indonesia terkoreksi hingga ke level menengah, bahkan bisa menyejajarkan diri dengan negara lain di level teratas.

Bagaimana keberhasilan literasi kita? Beragam usaha menggerakkan literasi yang sudah diungkapkan di atas ternyata baru sekadar gebrakan saja. Seiring dengan berjalannya waktu, usaha yang dilakukan tersebut ternyata berujung tidak menggembirakan. Kita bisa melihat kenyataan, pojok-pojok literasi yang awalnya menyediakan bahan bacaan sudah menghilang di ruang-ruang publik. Mungkin berbagai gerakan literasi tersebut hanya sekadar ’latah literasi’. Gembar-gembor tentang literasi, tetapi hasilnya belum terpetakan dengan baik.

Lalu, apa sebenarnya kegiatan literasi? Tujuan kegiatan literasi adalah membentuk manusia yang literat. Ketika manusia sudah literat, ia akan menyadari bahwa literasi merupakan sarana yang sangat penting dalam menjaga hubungan sosial antara manusia yang satu dengan manusia lainnya sehingga dapat hidup dalam kedamaian. Artinya, kegiatan literasi akan mengembangkan kemampuan seseorang dalam membaca teks yang komprehensif sehingga dapat berpikir secara kritis dan mampu berkomunikasi secara efektif.

Lantas, apa yang mendasari munculnya prasangka tentang ’latah literasi’ tersebut? Keadaan ’latah literasi’ tersebut bisa dilandasi dengan fakta bahwa kegiatan literasi dianggap sudah berhasil jika kegiatan membaca sudah dilakukan. Pokoknya, semua orang sudah melakukan kegiatan membaca. Apakah hasil membaca tersebut sudah terimplementasi dalam kehidupan pembacanya? Hal inilah yang menjadi landasan munculnya frasa latah literasi tersebut. Padahal, apabila dicermati, kegiatan membaca itu memiliki tiga tahap, yaitu sebelum membaca, membaca, hingga setelah membaca.

Apa yang dapat dilakukan pada tahap sebelum membaca? Pada tahap ini, guru dapat memberikan keleluasaan kepada siswa terkait pilihan bacaannya. Hal ini sangat penting karena hal ini dapat menumbuhkan minat terhadap membaca. Bisa jadi, kelemahan literasi yang sudah dilakukan sebelumnya terjadi karena buku bacaan yang disuguhkan tidak sesuai dengan minat pembaca. Pembaca di wilayah pegunungan disuguhi dengan bacaan-bacaan tentang nelayan, laut, dan produksi hasil laut. Begitupun sebaliknya, pembaca yang berada di wilayah perdesaan disuguhi bahan bacaan tentang perkotaan. 

Berilah sumber bacaan yang dekat dengan siswa agar mereka dapat melihat dalam kondisi sebenarnya. Dalam hal ini, bacaan terkait kearifan lokal masyarakat di sekitar siswa perlu diperkaya. Misalnya, siswa yang berada di wilayah Jawa Barat, membaca bacaan tentang kehidupan masyarakat di perdesaan Jawa Barat, pegunungan Jawa Barat, kehidupan di pesisir pantai Jawa Barat, dan masyarakat perkotaan Jawa Barat. Mengapa demikian? Hal tersebut bertujuan agar siswa dapat membayangkan terlebih dahulu terkait kehidupan yang ada di wilayah terdekatnya. Setelah itu, siswa dapat membayangkan hal yang berada di luar dirinya, misalnya kehidupan masyarakat Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan daerah lainnya yang ada di Indonesia. Artinya, ia akan mengaitkan pengetahuan yang didapatnya dari lingkungan terdekatnya dengan pengetahuan yang ada di luar daerah yang didapatkan dari hasil bacaannya. Dengan demikian, kita harus menyediakan bahan bacaan yang bervariasi agar sesuai dengan kebutuhan pembaca.

Pemberian keleluasaan dalam memilih bacaan bertujuan agar siswa menyenangi topik yang dibaca. Tentu saja hal ini akan berimbas pada pemahaman dan ketertarikannya untuk membaca lebih lanjut, baik dalam buku tersebut maupun mencari referensi lainnya dari berbagai sumber.

Hal lainnya adalah memberikan keleluasaan dalam mengganti buku. Misalnya, setelah memprediksi isi melalui judulnya, ternyata pemaparan isinya tidak menarik. Siswa boleh saja langsung mengganti bukunya dengan syarat harus menyelesaikan bacaannya sesuai dengan waktu. Guru harus memberikan motivasi yang terus menerus agar hal ini berjalan sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Tak hanya itu, siswa diberikan kebebasan untuk menentukan tempat yang nyaman untuk membaca. Siswa bisa saja merasa tidak nyaman kalau membaca buku di ruang kelas. Berikan kebebasan tempat membaca di ruangan lain, bisa di perpustakaan, kantin, dan ruang terbuka karena daya serap atau cara belajar siswa berbeda-beda.

Tahapan berikutnya adalah membaca. Dalam tahap ini, siswa diberikan kebebasan membaca dalam waktu yang telah disepakati. Ketika membaca, metode yang dilakukan bisa membaca senyap ataupun membaca bersuara. Hal ini tentu saja disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk meningkatkan pemahaman bacaan seseorang, bisa saja dengan membaca senyap atau membaca dalam hati.

Ketika kegiatan membacanya dilakukan secara berjemaah, metodenya bisa saja membaca bersuara atau nyaring. Kegiatan membaca nyaring sangat menyenangkan karena antara pembaca dan pendengar dapat menangkap informasi yang sedang dibaca. Selain itu, dengan membaca bersuara, keterampilan berbahasa lainnya akan terlatih, seperti menyimak, berbicara, atau menulis. Dengan demikian, membaca bersuara akan membantu perkembangan siswa untuk menyenangi buku sehingga dapat membaca cerita sejarah sepanjang kehidupannya.

Tahap terakhir yang harus diperhatikan adalah setelah membaca. Setelah membaca, ia harus dapat mengomunikasikan isi bacaannya kepada orang lain. Bahkan, tahap ini harus sampai pada penerapan dalam kehidupannya sehari-hari. Tahapan penerapan hasil yang pembacaan terhadap buku bisa saja beragam. Misalnya, siswa dapat membuat sebuah artikel, poster (manual dan/atau digital), ataupun ajakan lainnya untuk memelihara lingkungan setelah membaca buku dengan topik lingkungan. Selain itu, ia mempraktikkannya di dalam kehidupannya sehari-hari dengan cara membuang sampah pada tempatnya, membersihkan parit atau selokan di sekolah ataupun lingkungan tempat tinggalnya, dan menanam pepohonan.

Apabila buku yang dibacanya terkait teori menulis, misalnya, ia akan mempraktikkan secara langsung untuk menulis. Misalnya, ia akan mempraktikkan menulis dengan cara membuat ringkasan isi buku yang telah dibacanya, menulis resensi terkait buku tersebut, atau bahkan menulis apa pun berbekal teori yang telah dibacanya. Dengan demikian, kegiatan membaca tersebut tidak hanya sekadar menyelesaikan aktivitasnya membaca, melainkan mempelajari pengetahuan dan wawasan dari sebuah buku, merasakan pengetahuan yang telah dibaca dapat dipelajari dengan mudah, dan menerapkan pengetahuan yang bersumber dari buku tersebut dalam kehidupan kesehariannya.

Apakah tahapan sebelum membaca, membaca, dan setelah membaca itu sudah dilakukan oleh kita saat ini? Adakah kita mengevaluasi diri terkait hal yang dilakukan setelah membaca? Jika hanya sekadar membaca dan tidak ada aksi nyata setelah membaca, kita telah terjerumus dalam ruang dan aktivitas yang sama, yakni latah literasi. Semoga, kita semua mampu mengimplementasikan hasil membaca dalam kehidupan sehari-hari.

Spread the love

Related post

14 Comments

  • Terima kasih telah membuka wawasan saya tentang literasi. Dan harus bagaimana menghilangkan latah literasi. Sangat menginspirasi.

  • Salute

  • Inspiratif sekali, bagi saya selaku penggiat literasi di daerah

  • Luar biasa. Tahapan membaca harus seperti itu agar keberhasilannya dapat diukur dengan baik. Apalagi tahapan setelah membaca yang harus terimplementasikan dalam kehidupan keseharian pembaca/siswa.

    • Hanya mengingatkan kembali tiga tahapan dalam membaca agar terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari.

  • Latah bisa diartikan secara positif. Itu kalau menurut pendapat saya. atau bahasa lainya tren. bagaimanalun kebiasaan membaca belum menjadi budaya yang melekat pada kita. Semoga dari ikut-ikutan tren atau latah ini, kita bisa merasakan manfaat dari membaca (lengkap dengan prosedur pra membaca dan pasca membaca). Nanti jika sudah merasakan manfaatnya setiap orang akan makin haus membaca. harapannya, sih, begitu, ya!

    • Semoga latahnya mengikuti tren positif dalam berliterasi.

  • Amatan cermat yg memang perlu upaya tindak nyata di masyarakat.
    Terima kasih artikel yg menginspirasi Kang Yadi M.
    Salam literasi

    • Terima kasih, Pak. Hanya menangkap apa yang ada di lingkungan terdekat, Pak. Salam literasi

  • Semangat literasi💪

  • Narasi yang mwnarik, yu kuta awali dari diri kita ssbagai pendidik dengan mwbiasakan untuk berliterasi, terutama berliterasi membaca,

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *