Mengajar sebagai Proses Belajar Sejati

 Mengajar sebagai Proses Belajar Sejati

 

Bagi seorang guru, mengajar bukan sekadar profesi—ia adalah ruang pembelajaran yang terus berlangsung. Guru berada dalam posisi unik: setiap kali mereka menjelaskan, mereka sebenarnya sedang mengasah dan memperdalam pemahamannya sendiri. Setiap pertanyaan dari murid adalah jendela baru yang membuka kemungkinan-kemungkinan berpikir yang sebelumnya tak terbayangkan. Guru yang terbuka terhadap proses ini akan menyadari bahwa kelas bukanlah panggung satu arah, melainkan ruang dialog yang hidup, tempat guru dan murid tumbuh bersama.

Profesional

Lebih jauh, dalam konteks perkembangan profesional, mengajar mendorong guru untuk terus belajar, memperbarui pendekatan, dan memelihara empati. Seperti yang dikatakan John Dewey, pelopor pendidikan progresif, “We do not learn from experience… we learn from reflecting on experience.” Maka setiap interaksi di kelas, setiap keberhasilan maupun kegagalan, adalah bahan baku refleksi yang memperkaya praktik mengajar. Dengan menyadari bahwa proses mengajar itu sendiri adalah cara belajar yang paling dalam, guru tidak lagi merasa kehabisan bahan, justru semakin sadar bahwa mereka tengah menempuh jalan belajar yang paling otentik—belajar menjadi manusia seutuhnya.

Fase Metakognisi

Dalam psikologi kognitif, ada satu prinsip menarik: manusia belajar paling efektif ketika ia harus merekonstruksi pengetahuan—bukan sekadar mengingat, tapi memahami, mengolah, dan menyampaikan kembali. Inilah mengapa mengajar menjadi salah satu bentuk pembelajaran paling mendalam.

Saat seseorang mengajar, ia memasuki fase metakognisi—kemampuan untuk menyadari dan mengevaluasi proses berpikirnya sendiri. Ia tak lagi sekadar tahu, tapi mulai bertanya: “Bagaimana aku tahu ini? Apakah yang aku pahami benar? Bagaimana cara menjelaskannya agar orang lain juga paham?”

Dalam proses itulah terjadi rekonstruksi. Otak dipaksa membentuk jalur-jalur baru, menata ulang skema berpikir, bahkan memperbarui keyakinan yang selama ini dianggap mutlak. Ketika murid bertanya hal tak terduga, sistem limbik kita—pusat emosi—merespons duluan. Kita merasa gugup, terdesak. Tapi di situlah titik tumbuh muncul: karena tekanan ringan bisa menjadi pemicu bagi pembelajaran yang lebih otentik.

Dari sudut pandang psikologi sosial, mengajar juga melibatkan perspective-taking—kemampuan memahami sudut pandang orang lain. Kita mulai merancang kalimat, ilustrasi, dan contoh yang sesuai dengan audiens. Dalam proses itu, empati tumbuh. Dan empati, menurut psikolog perkembangan Daniel Goleman, adalah inti dari kecerdasan emosional. Goleman menyatakan, “Empathy represents the foundation skill for all the social competencies important for work.” Maka mengajar bukan hanya tentang isi, tetapi juga tentang cara kita terhubung secara emosional dengan orang lain.

Menjadi Lebih Utuh

Jadi, mengajar bukan hanya proses menyampaikan pengetahuan. Ia adalah aktivitas reflektif yang melibatkan emosi, empati, logika, dan nalar kritis secara bersamaan. Ia mempertemukan dimensi kognitif dan afektif dalam satu tarikan napas.

Maka wajar jika mengajar kerap membuat kita lelah, namun juga utuh. Karena di setiap pelajaran yang kita berikan, sebenarnya ada ruang dalam diri yang sedang kita sembuhkan—ruang kosong yang perlahan kita isi, dengan pemahaman yang tak lagi sekadar kita miliki, tapi kita hayati. (Red)

Spread the love

Related post