Kpop, antara Hiburan dan Imperialisme Budaya
Oleh: Agnes Setyowati
PRODUK hiburan Korea Selatan semakin digandrungi masyarakat Indonesia, mulai dari film, musik Kpop hingga drama Korea, atau yang sering disebut sebagai Drakor.
The World of the Married, Crash Landing on You, Itaewon Class, serta It’s OK to Not Be OK adalah beberapa dari sederet judul drama Korea yang paling banyak ditonton sepanjang tahun 2020 (Kompas, 31/12/2020).
Di tahun 2021, sejumlah judul Drakor seperti The Penthouse 2, Vincenzo, River and the Moon Rises serta beberapa judul lainnya sempat menjadi trending topic di beberapa platform media sosial, khususnya di twitter.
Popularitas Drakor di Indonesia memang sudah tidak diragukan lagi, terutama di kalangan generasi milenial dan kelompok ibu rumah tangga dengan demografi penonton rentang usia 20 hingg 49 tahun.
Alasannya sederhana, selain suguhan cerita romantis yang diperankan aktor tampan dan aktris cantik, episode Drakor bisa dibilang tidak terlalu panjang sehingga membuat penonton tidak merasa bosan dan terpuaskan.
Selain itu, umumnya ceritanya juga sederhana dan dekat dengan keseharian, misalnya kisah seorang pria tampan yang memperjuangkan cintanya dengan perempuan miskin dibungkus dengan sentuhan cerita yang romantis, memilukan, dan kebanyakan berakhir bahagia.
Selain itu, peran platfom media sosial serta tayangan digital resmi seperti Netflix, Iflix, Vidio, Viki, juga memudahkan khalayak untuk mengakses dan menikmati drama Korea.
Gelombang Korea (Korean wave) di negara-negara Asia
Yang (2012) dalam The Korean Wave (Hallyu) in East Asia: A Comparison of Chinese, Japanese, and Taiwanese Audiences Who watch Korean TV Dramas mengatakan bahwa produk budaya populer Korea menyebar ke beberapa negara-negara Asia seperti China, Hongkong, Taiwan, Singapura, Vietnam, Malaysia, hingga Indonesia sejak pertengahan 1990an.
Ada tiga produk hiburan unggulan yang menjadi komoditas industri hiburan Korea Selatan yaitu film, drama televisi (Kdrama), dan musik pop (Kpop). Di antara ketiganya, drama televisi yang paling laris dan banyak digemari oleh masyarakat di Asia.
Dari situ, muncullah istilah Hallyu atau Korean wave (gelombang Korea) yang merujuk pada popularitas produk budaya populer Korea Selatan sebagai kekuatan besar di banyak negara Asia, mulai dari film, drama, musik, iklan, makanan, produk kecantikan, hingga fashion.
Di Indonesia, kemunculan Kdrama dapat ditelusuri pada kisaran 2002, Endless Love (Autumn in My Heart) dan Winter Sonata adalah dua judul yang disiarkan oleh stasiun TV swasta dan digemari oleh masyarakat Indonesia.
Kedua film tersebut sekaligus mengawali masuknya fenomena Hallyu di Indonesia yang diikuti dengan munculnya sederet judul Kdrama dan berbagai produk populer Korea Selatan lainnya hingga sekarang.
Ragam produk Korea Selatan lainnya yang cukup banyak diminati masyarakat kita, khususnya generasi milenial, adalah Kpop yang ditandai dengan suksesnya pagelaran konser boyband dan girlband di Indonesia seperti Super Junior, Bigbang, Blackpink, dan lain-lain.
Pop culture: Imperalisme budaya di Indonesia?
Adalah globalisasi dan kemajuan teknologi informasi yang memungkinkan interaksi lintas negara dan meleburkan batas-batas geografis dan kultural, sehingga berbagai kepentingan ideologi, ekonomi, politik, dan budaya saling bertukar secara kompleks dan kompetitif.
Dalam konteks budaya populer Korea Selatan, Astuti (2012) menyatakan bahwa popularitas Kpop di kalangan remaja kota terjadi akibat dari kemudahan mengakses internet. Hal yang sama juga membuat kebudayaan pop dari negara lain seperti Perancis, Jepang, Arab, Inggris diminati oleh masyarakat kita.
Dampak dari dua fenomena global ini membawa kita pada istilah imperalisme budaya yang merujuk pada proses pengaruh sosial yang meliputi kepercayaan, nilai-nilai, pengetahuan, dan norma perilaku serta cara hidup dari suatu negara ke negara lain (Berltran, 1978).
Salah satu efek langsung dari imperalisme budaya adalah terkikisnya identitas dan kearifan lokal seperti adat istiadat, musik, serta cara hidup masyarakat lokal.
Di Indonesia, gejala imperalisme budaya dapat ditarik dari masa kolonial yang menempatkan kebudayaan Belanda sebagai hegemoni.
Sementara itu, Bettina David dalam tulisannya Bollywood, Dangdut Music, and Globalizing Modernities in Indonesia telah menemukan bagaimana pengaruh asing dari India, Arab, Turki mempengaruhi musik populer Dangdut.
Di era Orde Lama, gempuran budaya pop Barat seperti musik rock and roll, yang sempat digemari publik dilarang karena dianggap berpotensi menggeser budaya lokal.
Semangat anti-imperalisme ditunjukkan melalui prinsip Trisaktinya, yaitu berdaulat secara politik, ekonomi, dan kebudayaan sehingga segala bentuk produk asing dilarang, bahkan kelompok musik, Koes Ploes, pernah dipenjara karena dianggap terinspirasi dari The Beatles.
Kemudian di era Orde Baru, Presiden Soeharto membuka kembali keran yang sempat menutup imperalisme budaya Barat, artinya segala produk Barat seperti teknologi dan budaya pop secara masif masuk secara bebas, alhasil kita mulai sering menikmati produk-produk pop Barat seperti film, musik, fashion hingga makanan seperti McD dan KFC.
Di era reformasi, politik kebudayaan semakin terbuka lebar, namun di era ini imperalisme budaya bukan hanya datang dari Barat, tetapi juga dari negara-negara non-Barat (Jepang, India, Cina, Korea, Timur Tengah).
Ariel Heryanto (2015) dalam bukunya Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia mengatakan bahwa dalam konteks pop culture, musik populer Amerika dan film Hollywood memang masih berpengaruh namun tidak lagi secara ekslusif menjadi hegemoni.
Lebih lanjut lagi ia menegaskan bahwa wacana dikotomi Timur versus Barat tidak lagi menonjol di ranah diskusi publik di era yang dijuluki sebagai “Abad Asia”.
Kebudayaan pop dari negara non-Barat (peripheral) hadir sebagai counter-culture dari dominasi dan hegemoni budaya Barat.
Apakah Indonesia juga melakukan imperalisme budaya? Mungkin kita pernah menonton acara ajang pencarian bakat musik dangdut D’Academy Asia tahun 2016 lalu yang ditayangkan dan diproduksi Indosiar. Yang menarik dari reality show tingkat Asia ini adalah bagaimana kontestan yang berasal dari Asia Tenggara dipaksa menyanyikan lagu dangdut asli Indonesia.
Upaya dangdut-isasi ini boleh jadi merupakan bentuk imperalisme budaya kita kepada negara Asia Tenggara yang masyarakatnya mungkin tidak begitu akrab dengan musik dangdut.
Kebijakan dan strategi kebudayaan
Konsekunesi globalisasi dan kemajuan teknologi-informasi memang telah mempengaruhi eksistensi budaya lokal kita dan membawa kita pada kondisi ‘krisis kebudayaan’.
Lalu bagaimana kita memelihara kebudayaan nusantara di tengah gempuran budaya asing? Diperlukan kebijakan dan strategi kebudayaan yang tepat untuk mengatasi hal ini dengan bersikap terbuka terhadap modernitas namun tetap memiliki jati diri sebagai bangsa yang berdaulat dan bermatabat.
Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid menawarkan enam program prioritas untuk menanggulangi permasalahan kebudayaan, antara lain jalur rempah, desa pemajuan kebudayaan, repatriasi cagar budaya, media kebudayaan, advokasi masyarakat adat, dan BLU museum. Namun yang terpenting lagi adalah kita harus membangun branding nation yang positif dan berkarakter di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda, untuk melindungi bangsa dari gempuran arus kebudayaan global.
Agnes Setyowati
Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.
Sumber: https://www.kompas.com/tren/read/2021/03/29/093631665/kpop-antara-hiburan-dan-imperialisme-budaya?page=all