Perempuan Pesisir
PEREMPUAN PESISIR : KEKUATAN DAN KELEMBUTAN
Oleh : Muhammad Nurdin, S.Pd
“….Ini bukan berarti bahwa aku menolak untuk cantik atau pintar sebagaimana umumnya perempuan. Aku hanya ingin menolak stigma tentang kecantikan dan kepintaran kaum perempuan, yang hanya diperuntukkan pada sisi ini dan terlarang untuk sisi itu. buktinya, aku juga tidak menolak untuk menikah dan menjadi seorang ibu. Tetapi bagiku, perempuan tidak bisa dipenjarakan dalam jeruji pernikahan dan dibatasi perannya hanya menjadi seorang ibu. Perempuan bukan pembantu bagi suaminya, buka pula pesuruh bagi anak-anaknya…”
Kalimat tersebut merupakan kutipan dari Novel “Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan” karya Ihsan Quddus, Suad tokoh utama dalam novel tersebut tidak lupa akan kodratnya sebagai perempuan. Suad tidak menolak menjadi ibu, tetapi juga ingin menjadi pribadi pemimpin yang memiliki kontrol atas sumber daya dan pengambilan keputusan secara mandiri.
Menurut teori mature, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah kodrati, sehingga harus diterima apa adanya. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi dan implikasi bahwa diantara kedua jenis tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada tugas yang memang berbeda.
Selanjutnya Teori keseimbangan ( Equilibrium) menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum perempuan dan laki-laki, karena keduanya harus bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Maka dalam setiap kebijakan dan strategi pembangunan agar diperhitungkan kepentingan dan peran perempuan dan laki-laki secara seimbang.
Dari kedua teori tersebut penulis berkeyakinan bahwa hal tersebut sangat relevan dengan kondisi kehidupan masyarakat pesisir Padangpadangeng, mereka sangat toleran, demokratis serta saling menghargai dan saling menopang kebutuhan hidup mereka, tidak terikat oleh persepsi bias gender yang mengharuskan perempuan hanya pada ruang domestik belaka tapi perempuan pesisir Padangpadangeng sudah dapat berkiprah pada ruang-ruang publik.
Namun penulis dalam hal ini akan mengulas sosok perempuan dari pesisir Padangpadangeng, Pangkajene dan Kepulauan adalah Cendong, Mia dan Muli ketiganya adalah bersaudara dan yatim piatu, sebenarnya mereka punya saudara laki-laki tapi sudah berada di perantauan. Ketiga perempuan itu sudah lama menggarap atau mengerjakan empangnya (tambak) sendiri sekitar kurang lebih 10 tahun,bukan hanya itu mereka juga mengolah garam pada saat musimnya, namun demikian tetap berpakaian layaknya seorang perempuan pada umumnya, mungkin sebagian besar masyarakat Padangpadangeng ketiganya bukanlah sesuatu yang istimewa namun sesungguhnya mereka adalah sosok yang patut di teladani. Karena karakter mereka yang ulet dan pekerja keras.
Kemandirian merupakan ungkapan yang patut disematkan pada mereka perempuan-perempuan pesisir, sebenarnya bukan hanya Cendong bersaudara yang begitu tangguh dalam menghadapai kondisi alam yang membutuhkan tenaga untuk mengelolahnya menjadi sesuatu yang bermanfaat, namun dalam pengamatan penulis sehari-hari ada banyak perempuan bahkan terkadang menjaga anak-anak mereka namun tetap beraktifitas.
Kedudukan wanita dalam masyarakat atau kesetaraan gender menjadi salah satu isu prioritas. Dan terkadang para perempuan dianggap lemah sehingga menjadi salah satu faktor hambatan dalam aspek pekerjaan dan kehidupan bermasyarakat lainnya. Seiring dengan meningkatnya kesadaran kaum perempuan akan haknya. Maka perempuan wajib membungkam mitos bias gender yang menyelubunginya.
Oleh karena itu tidak ada halangan bagi seorang perempuan untuk bekerja dalam berbagai bidang selama dalam suasana terhormat, sopan, beretika serta mereka dapat memelihara agamanya dan dapat pula menghindarkan dampak-dampak negatif terhadap diri dan lingkungannya.