Perlunya Etika Penggunaan Kecerdasan Artifisial (AI) di Ranah Pendidikan

 Perlunya Etika Penggunaan Kecerdasan Artifisial (AI) di Ranah Pendidikan

*Yadi Mulyadi

Fenomena merebaknya teknologi, khususnya kecerdasan artifisial telah merasuk ke dalam segala bidang. Salah satunya yang sedang menghadapi kegamangan terhadap kecerdasan artifisial  tersebut adalah bidang pendidikan. Kesadaran berliterasi teknologi informasi terbangun secara masif melalui beragam informasi yang hadir di hadapan kita. Bahkan, beragam pelatihan yang dilaksanakan secara daring, terkait dengan pemanfaatan kecerdasan artifisial dalam pendidikan, sangat gencar dan menjadi isu aktual bagi insan pendidikan.

Perkembangan teknologi terhadap pendidikan memang memberikan sumbangan yang sangat signifikan. Dalam Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Indonesia 2020-2045 (2020), kecerdasan artifisial ini sudah terlihat sejak kondisi Pandemi Covid-19 yang memaksa pembelajaran beralih dari pembelajaran tatap muka secara langsung menjadi tatap muka secara virtual. Dalam pelaksanaan tatap muka secara virtual tersebut, guru sudah mulai memanfaatkan kecerdasan artifisial ke dalam materi pelajaran, metode asesmen hasil pembelajaran, serta kategori siswa berdasarkan hasil asesmen. Tak hanya itu, munculnya virtual reality (VR) dan augmented reality (AR) sangat bermanfaat bagi guru dalam membuat modul pelatihan, termasuk di dalamnya praktikum dan pembelajaran. Begitupun dengan munculnya virtual laboratory (Vlab) yang menjadi sarana siswa dalam melakukan praktikum dalam sebuah ruangan virtual.

Pembelajaran yang sudah dilakukan tersebut ternyata memperlihatkan bahwa kecerdasan artifisial sudah secara masif merasuk ke dalam dunia pendidikan. Sistem pembelajaran dan asesmen yang adaptif mampu menyesuaikan dengan kemampuan siswa. Dengan adanya hal tersebut, siswa akan diberikan materi ataupun soal yang sesuai dengan kemampuannya dengan tingkat kesulitan yang dapat berubah sesuai dengan hasil asesmen yang dilakukan.

Beragam penggunaan teknologi dalam pendidikan telah secara efektif mengoptimalkan pembelajaran. Siswa telah mendapatkan pengalaman belajar yang menyenangkan karena guru menggunakan bahan ajar yang menarik. Misalnya, bahan ajar berupa multimedia interaktif yang memadukan fitur hasil kecerdasan artifisial, seperti pembuatan konten, pembuatan gambar (text to image), percakapan langsung (live chat) konsultasi, transkrip audio/video, dan membuat audio voiceover.

Beragam kemudahan yang tersedia dalam teknologi kecerdasan artifisial  tersebut jangan sampai memantik ketidakjujuran penggunanya. Inilah salah satu etika dalam menggunakan kecerdasan artifisial dari sisi pengguna. Seseorang yang menulis sebuah buku dengan menggunakan fitur ChatGPT, hasilnya bisa dianggap sebagai pelanggaran hak cipta, khususnya bentuk plagiarisme karena tidak mencantumkan sumber hasil penelusuran informasinya. Hal tersebut tentu saja akan berdampak terhadap proses belajar-mengajar yang dilakukannya.

Begitu pun dengan kecerdikan siswa yang memanfaatkan fitur ChatGPT, dalam hal ini chatbox, untuk membuat karya tulis, seperti artikel, makalah, dan laporan hasil penelitian. ChatGPT ini dengan mudahnya memberikan informasi terkait dengan latar belakang penelitian, rumusan masalah, kajian teoretis, bahkan hasil analisis yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Apabila berlangsung terus menerus, hal tersebut akan menimbulkan dampak yang kronis terhadap perkembangan dunia pendidikan. Alih-alih memanfaatkan teknologi, masa depan pendidikan akan terperangkap dalam iklim kecurangan dalam bentuk plagiarisme.

Bagaimana langkah yang harus dilakukan untuk mencegah dampak negatif penggunaan kecerdasan artifisial? Inilah yang harus menjadi perhatian kita semua untuk membentuk indikator atau sebuah etika akademik dalam memanfaatkan teknologi kecerdasan artifisial dalam dunia pendidikan. Etika akademik, sebagaimana kita ketahui bersama, merupakan kaidah atau norma yang menjadi acuan dalam proses pembelajaran. Etika akademik ini biasanya bersifat menyeluruh, seperti sikap kejujuran, keterbukaan, objektivitas, kemauan untuk belajar dan berkembang, serta saling menghargai dan bertindak inklusif.

Dalam perkembangannya yang semakin pesat, Elsevier, sebuah penerbit informasi ilmiah dan teknis terkemuka, telah membuat sejarah dengan mendaftarkan ChatGPT, model bahasa canggih, sebagai penulis jurnal. Elsevier telah mendaftarkan ChatGPT sebagai salah satu penulis artikel penelitian di jurnal “Artificial Intelligence in Medicine”. Apakah hal ini merupakan sebuah langkah maju yang signifikan dalam evolusi penerbitan ilmiah dan peran AI di dalamnya?

Mencermati perkembangan teknologi kecerdasan artifisial  tersebut, saatnya kita merumuskan secara tegas terkait dengan etika akademik dalam pemanfaatan kecerdasan artifisial tersebut. Sebuah etika ataupun integritas akademik yang harus senantiasa dijunjung dalam seluruh kegiatan akademik. Apabila seluruh insan pendidikan melanggar etika akademik, ia sangat pantas mendapatkan hukuman secara akademik.

Satu hal yang perlu kita ingat bahwa meskipun teknologi kecerdasan artifisial ini berkembang menjadi kecerdasan majemuk yang terus bermetamorfosis memperbarui dirinya sendiri tanpa bantuan penciptanya, manusia akan selalu bisa membatasi perilakunya dengan sebuah norma, baik yang berkaitan dengan agama, hukum, dan sosial. Bahkan, bisa jadi ke depannya, etika dalam penggunaan kecerdasan artifisial ini berdampingan dengan nilai-nilai yang tecermin dalam Pancasila. Bukankah teknologi hanya sebagai alat, bukan merupakan esensi tujuan pendidikan? Sejatinya, penggunaan teknologi secara menyeluruh dalam sebuah sistem kehidupan tanpa melibatkan manusia, ia akan menjadi sia-sia, tidak akan memiliki makna apa pun.

*Praktisi pendidikan

Spread the love

Yudhi Kurnia

redaksi@satuguru.id

Related post

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *