INDONESIA DARURAT LITERASI

Apakah pembaca sekalian pernah posting di media sosial? Tentu pernah, bukan?. Jenis postingan apa yang sering Anda bagikan?. Saat ini beragam tulisan, photo, atau video dapat kita posting sebagai satu kabar dari kita untuk khalayak pengguna jagat maya. Postingan yang kita bagikan bisa jadi kabar suka, duka, berita, serta sederatan informasi lainnya. Kita dengan senang membagikan informasi, tujuannya adalah untuk berbagi, tentunya berbagi hal-hal yang baik. Aktifitas berbagi kabar ini tentunya perlu diapresiasi dan diberikan acungan jembol. Namun demikian, pernahkah terpikirkan apa yang kita posting itu benar-benar manfaat? Jangan-jangan malah sebaliknya.
Kemajuan teknologi ibarat pisau bermata dua, mau mengambil manfaat atau sebaliknya. Bijak dalam bermedia sosial itulah yang kita harapan. Pada kenyataannya kita sering lupa saat kita menerima postingan dari orang lain begitu mudah dishare tanpa terlebih dahulu disaring. Maka jangan kaget, jika dalam waktu yang bersamaan beberapa postingan sama, tanpa memperhatikan sumbernya, bahkan begitu mudahnya orang copypaste. Lebih miris lagi kabar tersebut bisa menimbulkan bahaya, kabar kebohongan, dusta, atau palsu alias hoaks. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan, hoaks adalah berita bohong, informasi palsu, kabar dusta.
Harian Kompas, Senin, 28 Juni 2021 merilis data Kementerian Komunikasi dan Informasi periode 1 Agustus 2018 – 22 Juni 2021 menunjukkan terdapat 8.499 isu hoaks. Menurut data tersebut, tiga isu besar hoaks terkait bidang politik (1.252), pemerintahan (1.702), dan kesehatan (1.719. Khusus kesehatan, mayoritas hoaks terkait isu pandemi Covid-19.
Publik mengungkapkan bahwa hoaks yang beredar kini mengkhawatirkan. Fakta itu ditemukan dalam jajak pendapat ini, yakni 41,6 persen menyatakan sangat mengkhawatirkan dan 43,3 persen menyatakan cukup mengkhawatirkan.
Ternyata, jika dirunut sumbernya menurut media ini, publik memandang media sosial (medsos) dan situs daring jadi penyumbang terbesar hoaks. Publik melihat konten hoak di medsos sudah pada level parah. Bahkan, 35,3 persen menyatakan konten hoaks di medsos sangat parah dan 41,5 persen menilai cukup parah.
Agenda Pemilihan Umum Serentak Tahun 2024 telah dimulai. Pemungutan suara yang terjadwal pada tanggal 14 Februari 2023 tinggal 100-an hari lagi. Menjelang Pemilu, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah mengidentifikasi total 101 isu hoaks yang beredar mengenai Pemilu sejak Januari 2023 hingga 26 Oktober 2023.
“Sepanjang 2022 hanya terhadap 10 hoaks Pemilu, namun sepanjang Januari 2023 hingga 26 Oktober 2023 terdapat 91 isu hoaks Pemilu. Berarti terjadi peningkatan hampir 10 kali lipat isu hoaks dibandingkan tahun lalu,” tutur Menkominfo Budi Arie Setiadi dalam Konferensi Pers Awas Hoaks Pemilu! di Media Center Kementerian Kominfo, Jakarta Pusat, Jumat (27/10/2023).
Sejak Juli 2023 terjadi peningkatan signifikan dari bulan-bulan sebelumnya. Oleh karena itu, Menteri Budi Arie menegaskan Kementerian Kominfo bersiap merespons penyebaran hoaks terkait Pemilu yang belakangan meningkat penyebarannya.
“Penyebaran hoaks dan disinformasi meski beragam, dapat ditemukan di beragam media sosial. Catatan kami menunjukkan penyebaran hoaks dan disinformasi terkait pemilu paling banyak ditemukan di platform facebook yang Meta kelola. Saat ini kami telah mengajukan take down 454 konten kepada pihak Meta,” ujarnya.
Menkominfo menyatakan kondisi itu harus menjadi perhatian bersama. Pasalnya, keberadaan hoaks mengenai Pemilu tidak hanya menurunkan kualitas demokrasi namun berpotensi memecah belah bangsa.
“Sebagai salah satu bentuk information disorder, akibatnya Pemilu yang seharusnya menjadi pesta demokrasi dapat terkikis integritasnya serta menimbulkan distrust (ketidakpercayaan) antarwarga,” tandasnya.
Nampaknya kita harus menengok kembali apa itu literasi. Menurut UNESCO “The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization”, Literasi ialah seperangkat keterampilan nyata, terutama keterampilan dalam membaca dan menulis yang terlepas dari konteks yang mana ketrampilan itu diperoleh serta siapa yang memperolehnya. Sementara, National Institute for Literacy, mendefinisikan Literasi sebagai “kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.”
Sedangkan menurut, Education Development Center (EDC) menyatakan bahwa Literasi lebih dari sekadar kemampuan baca tulis. Namun lebih dari itu, Literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya. Dengan pemahaman bahwa literasi mencakup kemampuan membaca kata dan membaca dunia.
Jika boleh kita simpulkan dari beberapa pendapat, literasi menyangkut seluruh hidup dan kehidupan bagaimana kita membaca alam. Akankah kita bijak memperlakukan alam dengan baik? Sudah pasti aura positif akan kembali kepada kita, ketika kita bersahabat dengan alam itu sendiri. Sebaliknya aura negatif dengan sendirinya, manakala memperlakukan alam sekehendak hati.
Literasi lain yang sering terlupakan adalah literasi hitung atau istilahnya numerasi. Jika kita tilik dalam buku Gerakan Literasi Nasional, literasi numerasi adalah pengetahuan dan kecakapan untuk (a) menggunakan berbagai macam angka dan simbol-simbol yang terkait dengan matematika dasar untuk memecahkan masalah praktis dalam berbagai macam konteks kehidupan sehari-hari dan (b) menganalisis informasi yang ditampilkan dalam berbagai bentuk (grafik, tabel, bagan, dsb.) lalu menggunakan interpretasi hasil analisis tersebut untuk memprediksi dan mengambil keputusan.
Secara sederhana, numerasi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengaplikasikan konsep bilangan dan keterampilan operasi hitung di dalam kehidupan sehari-hari (misalnya, di rumah, pekerjaan, dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat dan sebagai warga negara) dan kemampuan untuk menginterpretasi informasi kuantitatif yang terdapat
di sekeliling kita. Kemampuan ini ditunjukkan dengan kenyamanan terhadap bilangan dan cakap menggunakan keterampilan matematika secara praktis untuk memenuhi tuntutan kehidupan. Kemampuan ini juga merujuk pada apresiasi dan pemahaman informasi yang dinyatakan secara matematis, misalnya grafik, bagan, dan tabel.
Lalu, sudah sampai sejauh mana keterampilan kita dalam membaca matematika alam? Nampaknya kita masih berkutat dengan teori dan rumus-rumus, yang membuat kita fobia saat mendengar “matematika”. Maka tidaklah berlebihan jika anak-anak kita selalu jeblok saat ujian tiba, karena orang dewasa sendiri menyimpulkan matematika mata pelajaran yang menakutkan. Sehingga kegamangan matematika dalam kehidupan menjadi masalah yang tidak bisa dianggap sepele. Tidak jarang kita tidak bijak memperlakukan uang, demikian juga tidak bisa membaca cuaca, statistik, bahkan memasukkan angka-angka yang sudah tersedia rumusnya yang mengakibatkan fatal dan merugikan khalayak. Dan tentunya masih banyak ketidakmengertian memperlakukan numerasi dengan baik.
Sederetan kejadian di atas menjadikan darurat literasi. Artinya, harus segera menengok kembali prilaku kita membaca alam, hukum sebab akibat. Sudahkah kita membaca dengan baik? Siapa yang menabur dialah yang menuai. Jika sebelumnya ada istilah mulutmu harimaumu, maka sekarang jarimu harimaumu. Mari saling mengingatkan, bijak saat menerima informasi dan mana yang layak untuk diposting. Sehingga alam tersenyum akan prilaku kita. Bukankah demikian?(drjd)**
2 Comments
Pentingnya meningkatkan literasi digital.
karena bisa juga kelebihan informasi di era digital ini informasi dengan mudah dapat di akses oleh siapa saja , namun dengan terlalu banyak nya informasi yang tersedia membuat orang males membaca cenderung hanya membaca bagian bagian tertentu dan mengabaikan informasi informasi yang paling penting dan detail