APAPUN KURIKULUMNYA, SIAPAPUN MENTERINYA, YANG MENGAJAR TETAPLAH GURU

Oleh: Isnawan Aslam *)

Sejak merdeka tahun 1945, kurikulum telah berganti sebanyak sepuluh, atau rata-rata setiap 7,5 tahun terjadi pergantian kurikulum.  Sebuah pergantian yang terlalu cepat untuk sebuah kurikulum. Sejak kemerdekaan, menteri pendidikan telah berganti sebanyak 37.  Korban pertama dan paling berat dari kebijakan kurikulum yang tidak ajeg adalah para guru.  Gurulah yang paling “terzalimi” ketika pemerintah menerapkan kurikulum baru.  Mengapa?

Para pejabat Kementerian Pendidikan, dari menteri sampai Kepala Dinas/Kepala Cabang Dinas   sebatas memberikan instruksi dilanjutkan dengan sosialisasi kurikulum baru tersebut, yang sering abai terhadap efektivitas sosialisasi yang dilakukan.

Tinggal guru yang jungkir balik mengunyah dan mencerna materi kurikulum baru untuk dijalankan sebagai pedoman kegiatan belajar mengajar. Itu bukan perkara mudah. Butuh energi dan stamina ruhani dan fisik yang prima.  Dalam beberapa hal, itu bisa menyebabkan guru mengalami depresi.

Sejarah Kurikulum Indonesia

Dua tahun semenjak kemerdekaan, Indonesia baru menerapkan kurikulum pertama. Dalam Kurikulum tersebut Pancasila ditetapkan sebagai asas pendidikan. Tahun 1952, Pemerintah mengganti Kurikulum 1947 dengan Kurikulum Rencana Pelajaran Terurai 1952.  Kurikulum ini sudah merinci setiap mata pelajaran.  Silabus mata pelajaran diampu oleh seorang guru.

Tidak sampai sepuluh tahun, dengan dalih menyempurnakan kurikulum, Pemerintah memberlakukan Kurikulum Rencana Pendidikan 1964, yang bertujuan agar peserta didik mendapat pengetahuan akademik sesuai dengan jenjang sekolah. Pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana, yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional atau artistik, keterampilan, dan jasmani. 

Saat Indonesia masih dalam turbulensi politik, Pemerintah mengimplemantasikan kurikulum baru pada tahun 1968.  Aroma politis mewarnai penggatian kurikulum ini.  Kurikulum Rencana Pendidikan 1964 dianggap sebagai produk orde lama.

Tahun 1975, Pemerintah menyempurnakan kurikulum 1968. Kurikulum ini konon dimaksudkan agar pendidikan lebih efektif dan efisien. Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), dikenal dengan istilah satuan pelajaran, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan.

Tahun 1984, Pemerintah mengadopsi model pembelajaran Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Dalam CBSA, siswa ditempatkan sebagai subjek belajar, yaitu dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Kurikulum ini juga sering disebut dengan Kurikulum 1975 Disempurnakan.

Pada tahun 1994 pemerintah mengganti kurikulum dengan maksud memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya, terutama Kurikulum 1975 dan 1984,. Namun, pemaduan ini tidak berhasil, karena beban belajar siswa dinilai terlalu berat.

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) diluncurkan pada tahun 2004.  KBK mengandung tiga unsur pokok, yaitu pemilihan kompetensi sesuai spesifikasi, indikator-indikator evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian kompetensi, dan pengembangan pembelajaran.

Pada tahun 2006, Pemerintah mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).  KTSP mendesentralisasi kewenangan dalam penyusunannya.  Pemerintah pusat hanya menetapkan standar kompetensi.  Guru dituntut mampu mengembangkan sendiri silabus dan penilaian sesuai kondisi sekolah dan daerahnya.

Hanya berselang tujuh tahun, Pemerintah mengganti  lagi kurikulum yaitu menjadi  Kurikulum 2013.  Kurikulum ini memiliki tiga parameter penilaian, yaitu aspek pengetahuan, aspek keterampilan, dan aspek sikap dan perilaku.

Yang paling gres adalah implementasi Kurikulum Merdeka Belajar pada tahun 2022 oleh Mas Menteri Nadiem Makarim.  Kurikulum ini lumayan menggoncang dunia pendidikan karena dalam situasi pandemi Covid-19, guru dan kepala sekolah gamang menghadapi perubahan kegiatan belajar mengajar yang sangat hebat.

Bagaimana Nasib Guru

Selama pergantian kurikulum sebanyak sepuluh kali dan pergantian menteri pendidikan sebanyak 37 kali, guru sebagai ruhnya pendidikan belum ditempatkan di tempat yang semestinya.

Guru sangat berharap Kurikulum Merdeka Belajar mampu membebaskan para guru dari beban administrasi remeh-temeh yang menggerus efektivitas kegiatan belajar dan belajar.  Pemerintah harus membebaskan guru dari himpitan atau tekanan ekonomi agar bisa fokus mendidik. 

Di lain pihak, guru juga punya kewajiban juga. Guru harus  membebaskan diri dari kelembaman atau kemalasan meningkatkan kompetensinya.  Kepala sekolah harus punya semangat kemerdekaan untuk berinovasi mewujudkan suasana kegiatan belajar mengajar yang kreatif dan menyenangkan.

Agar tetap tegar setiap menghadapi pergantian kurikulum yang mungkin saja terjadi nanti saat pergantian kabinet pada tahun 2024, guru memerlukan senjata pemungkas. Senjata pamungkas itu berupa ‘mantra’ yang terkesan provokatif. Mantra ini dapat dijadikan katarsis. Mantra ini juga sejatinya bisa dimaknai sebagai rasa syukur bahwa guru menempati posisi strategis dan sentral dalam dunia pendidikan.

Mantra tersebut adalah ‘Apapun Kurikulumnya, Siapapun Menterinya, yang Mengajar Tetaplah Guru”.

Sejatinya, ini adalah perwujudan dari spiritualitas guru yang menempatkan mendidik itu adalah ibadah.

*) Isnawan Aslam adalah Wakil Ketua Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) yang antusias menggeluti dunia pendidikan.

Spread the love

Yudhi Kurnia

redaksi@satuguru.id

Related post

3 Comments

  • Terimakasih Pak ,tulisan yang luar bisa sangat bermakna dan bermanfat bagi kami dalam mengembangakan kerangka pembelajaran agar lebih inovatip dan bervariasi.

  • Sangat menarik tulisan nya, menambah wawasan bagaimana perkembangan kurikulum yang ada di indonesia, sesuai dengan perkembangan zaman, semangkin tahun tinggi semangkin tinggi pula tuntutan kiya sebagai guru untuk menjembatani anak didik kita penerus bangsa kita, semoga kita guru mampu mengangkat seluruh lapisan masyarakat untuk lebih berpotensi dalam menghadapi era globol yang akan datang, Semamgat Guru Seluruh Indonesia khusus nya.

  • Tulisan yang luar biasa narasi akademis yang benar adanya, di lapangan guru sebagai objek bagi kebijakan dan subjek bagi operasional pendidikan di sekolah.
    Luar biasa pak Is…
    Mantaap

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *