DISRUPSI

 DISRUPSI

Dua belas  tahun  lalu penulis terhenyak oleh “ulah” anak penulis, saat itu baru duduk di kelas VIII. Ia begitu semangatnya menolak dengan keras, kenapa sih harus sekolah Yah?  Kaget atas petanyaan tersebut. Betapa tidak anak yang biasanya semangat sekolah, kini “protes” dan sama sekali mempertanyakan, mengapa harus sekolah?

Pertanyaan tersebut tidak lantas dijawab, justru mengapa pertanyaan itu meluncur begitu saja. Ada apa gerangan dengan persekolahan kita? Atau memang sekolahnya tidak lagi menggairahkan bagi dia? Inilah kesempatan untuk berdiskusi dengan anak sekaligus bisa jadi mewakili siswa yang lain. Bukankah tidak sedikit mereka “malas” mengikuti kegiatan belajar mengajar?

Selidik punya selidik, ternyata ia mempunyai pandangan, kenapa harus sekolah jika nantinyaa harus mencari pekerjaan. “Bayangkan Ayah, adik sekolah mulai dari taman kanak-kanak, dilanjutkan ke SD, SMP, SMA, sampai kuliah! Berapa tahun yang harus habiskan jika sekolah tidak menjanjikan apa-apa? Delapan belas tahun Ayah, adik berkutat dengan dunia sekolah. Hasilnya? Ayah lihat sendiri, ribuan bahkan jutaan pengangguran. Artinya ini sekolah hanya bisa mencetak, penggangguran,” jelasnya berapi-api.

Obrolan semakin asyik, tentunya ada celah untuk saling berbagi, bagaimana pandangan anak-anak melinia menghadapi kehidupan ke depan. Oke dunia pendidikan kita lagi-lagi dipertanyakan keberadaannya. Alasan untuk apa sekolah, tentunya harus didukung dengan argumen yang kuat, mengapa ia tidak mau sekolah? Akhirnya pertanyaan itu mau tidak mau dibalikkan dan harus dijawab.

Bayangkan Ayah, adik sekolah mulai taman kanak-kanak sampai sekarang rasanya kurang menantang. Lingkungan tidak memberikan keleluasaan untuk mengepresikan keinginan, apalagi tantangan yang membuat aku termotivasi untuk berkarya. Guru pun menyampaikan masih gaya lama, tradisional, kurang memberikan asupan yang “greget” dan menganggap apa pun pendapat guru adalah sabda. Padahal zaman sekarang dunia sudah terbuka, tanpa batas. Makanya kenapa kita harus sekolah jika tidak membuat perubahan? Alhamdulillah kecil-kecil sudah dapat menghasilkan uang. Ya, uang yang sementara ini orang sekolah tinggi-tinggi akhirnya mencari pekerjaan. Bukankah dengan perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya internet tinggal duduk manis dan berkreativitas, maka uang pun datang?

Argumen berikutnya ia katakan, jika selama ini sekolah tidak memberikan segalanya cepat atau lambat akan ditinggalkan oleh peserta didik. Hal kecil, saat sekolah melarang tidak boleh membawa HP, sementara guru dengan leluasa memainkan HP saat kegiatan belajar mengajar. Padahal jelas, dunia sudah ada di genggaman, adik dan teman-teman justru memanfaat bagaimana HP menjadi sumber belajar yang paling mengasyikkan. Apapun yang kita cari ada di sini, tinggal buka saja Mbah Google, maka dunia pun terbuka.

Obrolan dua belas tahun  lalu menjadi catatan tersendiri bagi penulis, jangan-jangan banyak benarnya argumen tersebut. Bukankah perkembangan internet sudah mengikis suluruh hampir seluruh kehidupan? Inilah yang dinamakan suatu disruption atau disrupsi. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, disrupsi didefinisikan hal tercabut dari akarnya. Jika diartikan dalam kehidupan sehari-hari, disrupsi adalah sedang terjadi perubahan yang fundamental atau mendasar. Penulis teringat apa yang dikatakan Rhenald Kasali, dalam bukunya Disruption, bahwa dunia telah berubah dalam segala sisi.

Pertama, teknologi khususnya infokum, telah mengubah dunia tempat kita berpijak. Teknologi telah membuat segala produk menjadi jasa, jasa yang serba digital, dan membentuk marketplace baru, platform baru, dengan masyarakat yang sama sekali yang berbeda.

Kedua, sejalan dengan itu muncullah generasi baru yang menjadi penudukung utama gerakan ini.  Mereka tumbuh sebagai kekuatan mayoritas dalam peradaban baru yang menentukan arah masa depan peradaban. Itulah generasi millennials.

Ketiga, kecepatan luar biasa yang lahir dari microprocessor dengan kapasitas ganda setiap 24 bulan menyebabkan teknologi bergerak lebih cepat dan menuntut masunia berpikir dan bertindak lebih cepat lagi. Maknusia dituntut untuk berpikir eksponensial, bukan linear. Manusia dituntut untuk merespon dengan cepat tanpa ketrikatan pada waktu (menjadi 24 jam sehari, 7 hari seminggu) dan tempat (menjadi di mana saja) dengan disruptive mindset.

Keempat, sejalan dengan gejala disrupted society, muncullah disruptive leader yang dengan kesadaran penuh menciptakan perubahan  dan kemajuan melalui cara-cara baru. Ini jelas menuntut mindset baru : disruptive mindset. Hal ini dapat dilihat pada para bupati  dan gubernur yang dibesarkan dalam gelombang kedua internet, yang faham cara melakukan self-diruption. Mereka justru mendorong semua aparatnya untuk masuk ke media sosial dan memberi layanan 24 jam sehari melalui smartphone. Para aparat itu dituntut untuk berubah dan keluar dari perilaku “menjaga warung” menjadi prilaku proaktif. Keluar dari tradisi yang membelenggu. Hidup dalam corporate mindset.

Kelima, bukan cuma teknologi yang tumbuh, tetapi juga cara mengeksplorasi kemenangan. Manusia-manusia baru mengembangkan  model bisnis yang amat disruptive yan g mengakibatkan barang dan jasa lebih terjangkau (affordable), lebih mudah terakses (accessible), lebih sederhana, dan lebih merakyat. Mereka memperkenelkan  sharing economy, on demamd economy, dan segala hal yang lebih real time.

Dan keenam, teknologi sudah memasuki gelombang ketiga: internet of Things. Hal ini berarti media social dan komersial sudah memasuki titik puncaknya. Dunia kini memasuki gelobang smart device yang mendorong kita semua hidup dalam karya-karya yang kolaboratif. Telemedika dan wearable, juga smart home, smart city, dan smart shopping, adalah realitas baru yang harus kita hadapi. Hal ini menciptakan peluang sekaligus menjadi ancaman bagi usaha kita.

Tentukan perkembangan teknologi tidak sampai di sini kini memasuki revolusi industri 4.0.  Di mana untuk pertama kali diperkenalkan oleh ekonom asal Jerman, Profesor Klaus Schwab. Dalam bukunya yang bertajuk “The Fourth Industrial Revolution, Klaus mengungkap empat tahap revolusi industri yang setiap tahapannya dapat mengubah hidup dan cara kerja manusia. Revolusi industri 4.0 sendiri merupakan tahap terakhir dalam konsep ini setelah tahapan pada abad ke-18, ke-20, dan awal 1970.

Setelah melalui tiga tahap revolusi industri tersebut, tahun 2018 disebut sebagai awal zaman revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan sistem cyber-physical. Kini berbagai industri mulai menyentuh dunia virtual, berbentuk konektivitas manusia, mesin, dan data yang lebih dikenal dengan nama Internet of Things (IoT). Untuk menghadapi revolusi industri 4.0, bahkan di beberapa negara sudah memasuki society 5.0, mengintegrasikan teknologi ke dalam kehidupan kita dengan cara yang lebih cerdas, manusiawi, dan berkelanjutan diperlukan berbagai persiapan, termasuk metode pembelajaran yang tepat.

Kembali kepada obrolan awal, tentunya menjadi tantangan bagi kita bagaimana menghadapi gelombang perubahan ini. Yang begitu menghenyakkan, saat penulis begitu bangganya jika suatu saat anak bisa diterima di perguruan tinggi nomor wahid di Indonesia. Ternyata begitu enteng dia menjawab, bukan di mana kita sekolah, akan tetapi sudah dewasakah kita menghadapi dunia sesungguhnya? Sekolah di manapun sama Ayah, tinggal bagaimana kita mengahadapi perubahan. Ayah pernah berkata, sekolah yang terbaik adalah di rumah. Di sinilah mula asal pendidikan sesungguhnya. Di mana di dalamnya diajarkan agama, tata krama, serta keterampilan hidup sesungguhnya di masyarakat. Sekolah sendiri adalah ajang bersilaturahmi, bagaimana kita mengenal satu sama lain, ternyata hidup perlu banyak teman.

Inilah tantangan bagi kita, khususnya dunia pendidikan bagaimana kita mau tidak mau harus siap menghadapi kemajuan teknologi jika tidak mau ditinggalkan oleh peseta didik. Terlebih ada semacam “anggapan” kenapa harus sekolah kalau membuat kita bodoh? Bukankah sekelas Google, FB, dan sederetan perusahan besar memerlukan SDM yang berkualitas, dengan mengesampingkan latar bekakang pendidikan? Malahan generasi millennials, begitu bangganya dengan start up atau usaha rintisannya.

Obrolan semakin asyik tanpa sekat dan ketakutan, generasi millennials memang mempunyai jangkauan ke depan, jika kita tidak bisa mengimbangi jangan berharap didengar, bahkan bisa jadi ditinggalkan sama sekali. Memasuki tahun 2024, mari kita berpikir lebih cerdas, jika tidak mau dimainkan dunia. (dr) ***

Spread the love

Yudhi Kurnia

redaksi@satuguru.id

Related post

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *