Mengajar Bukan Soal Hitungan Jam

 Mengajar Bukan Soal Hitungan Jam

Wacana pengurangan jam tatap muka guru menjadi momentum mengembalikan makna sejati pendidikan.

Di tengah arus perubahan dunia pendidikan, wacana Kementerian Pendidikan untuk memangkas jam wajib tatap muka guru dari 24 jam menjadi 16 jam per minggu bukan sekadar soal teknis administratif.

Lebih dari itu, ini adalah sinyal penting: bahwa pendidikan sejatinya bukan diukur dari lamanya guru berdiri di depan kelas, melainkan dari sejauh mana mereka mampu menumbuhkan pemahaman, karakter, dan kreativitas dalam diri peserta didik. Kini, saatnya kita menata ulang pandangan kita tentang pendidikan—dari mengejar angka menuju membangun makna.

Mengubah Fokus Pendidikan

Selama bertahun-tahun, jumlah jam mengajar menjadi tolok ukur kinerja guru di Indonesia. Guru dipaksa memenuhi kuota 24 jam per minggu, sering kali dengan cara mengajar di berbagai sekolah atau mengambil mata pelajaran di luar bidang keahliannya. Akibatnya, pendidikan terjebak dalam rutinitas administratif, jauh dari tujuan membangun pembelajaran yang bermakna.

Pemangkasan jam tatap muka menjadi 16 jam per minggu bertujuan memberi ruang kepada guru untuk lebih fokus pada kualitas: merancang pembelajaran inovatif, membimbing siswa secara lebih personal, serta mengembangkan diri melalui pelatihan dan penelitian. Ini adalah langkah penting untuk mengubah paradigma pendidikan kita dari kuantitas menuju kualitas.

Tantangan Implementasi

Tentu saja, perubahan ini memerlukan sistem evaluasi baru. Kinerja guru harus dinilai berdasarkan dampak pembelajaran, bukan sekadar jumlah jam mengajar. Selain itu, perlu ada dukungan konkret agar waktu luang yang tercipta benar-benar digunakan untuk kegiatan produktif, bukan sekadar menjadi celah untuk menurunkan semangat kerja.

Penerapan kebijakan ini juga harus mempertimbangkan konteks lokal, karena kondisi pendidikan di kota besar dan daerah 3T sangat berbeda.

Ruang bagi Kualitas

Setiap menit guru bersama murid adalah kesempatan untuk mengubah dunia kecil dalam pikiran seorang anak. Dengan memberi ruang bagi kualitas, kita memilih untuk percaya bahwa pendidikan adalah tentang menghidupkan harapan, bukan sekadar memenuhi kewajiban. (isn)

Spread the love

Related post