Perlukah Indonesia Meniru Mereka?

Tiga ikon negara
Apakah mereka akan mendapatkan pendidikan yang benar-benar membentuk masa depan mereka?
Pertanyaan ini juga yang sering muncul setiap kali hasil PISA (Programme for International Student Assessment) dirilis. Indonesia masih tertinggal — dan itu bukan untuk disesali, tapi untuk direnungkan.
Karena di luar sana, ada negara-negara yang sudah lebih dulu melangkah dan mungkin bisa kita pelajari.
Finlandia: Di Mana Guru Adalah Kehormatan
Di Finlandia, anak-anak pulang sekolah saat kita baru selesai makan siang. Tidak ada PR menumpuk. Tidak ada ujian nasional. Tapi hasil belajarnya? Luar biasa.
Di sana, menjadi guru seperti menjadi duta masa depan.
Hanya mereka yang benar-benar terbaik yang diterima di fakultas pendidikan. Gaji guru tidak fantastis, tapi penghormatan sosialnya setinggi langit.
Mereka tidak sekadar mengajar, tapi mendampingi anak-anak tumbuh menjadi manusia seutuhnya.
Finlandia mengajarkan kita bahwa kualitas pendidikan bukan soal kurikulum yang tebal, tapi siapa yang membacakannya.
Singapura: Rapi, Terukur, dan Selalu Belajar
Lalu kita menoleh ke tenggara — Singapura. Negara kecil ini mungkin luasnya tak seberapa, tapi dalam hal pendidikan, mereka laksana mesin yang presisi.
Segala hal diatur secara sistemik: kurikulum, pelatihan guru, pengembangan kompetensi.
Yang tertinggal tidak ditinggal, tapi dibimbing.
Guru-guru mereka bukan hanya pengajar, tapi pembelajar yang terus diperbarui lewat pelatihan rutin.
Pendidikan menjadi bagian dari mesin negara, dan setiap komponennya dirawat dengan teliti.
Dari Singapura, kita bisa belajar bahwa kadang kemajuan tidak perlu revolusi besar-besaran — cukup langkah kecil yang konsisten, dan dijaga ritmenya.
Jepang: Membaca, Membantu, Menjadi Manusia
Lalu ada Jepang. Negara dengan budaya baca yang tertanam sejak kecil. Anak-anak di sana tumbuh dengan buku, bukan hanya gadget. Mereka membaca cerita rakyat, manga, artikel berita — membaca untuk hidup, bukan untuk ujian.
Di sekolah, mereka tidak diajari jadi pesaing, tapi jadi teman. Belajar kelompok, saling bantu, saling menghargai. Dan yang paling menyentuh: mereka membersihkan sekolah sendiri, tanpa petugas kebersihan. Karena bagi mereka, pendidikan bukan hanya soal angka dan nilai, tapi soal tanggung jawab dan empati.
Dari Jepang, kita belajar bahwa karakter tidak lahir dari teori, tapi dari kebiasaan kecil yang diulang setiap hari.
Indonesia: Tidak Perlu Meniru, Cukup Menyerap dan Menyulam
Indonesia tidak harus menjadi Finlandia, atau meniru Singapura, apalagi menjiplak Jepang.Indonesia cukup menjadi Indonesia — tapi versi terbaiknya. Versi yang percaya bahwa anak-anak kita pantas mendapatkan yang terbaik, dan bersedia berbenah dari akar hingga daun.
Kita bisa mulai dari:
- Meninggikan harkat guru,
- Menata ulang sistem agar tidak membingungkan,
- Menumbuhkan budaya baca di rumah, bukan hanya di sekolah,
- Dan menjadikan pendidikan bukan proyek musiman, tapi komitmen jangka panjang.
Karena pada akhirnya…
Kemajuan pendidikan tidak akan datang dari tumpukan modul, aplikasi digital, atau jargon kebijakan. Ia datang dari hal sederhana: manusia yang peduli pada manusia lain.
Seorang guru yang sabar, sistem yang konsisten, dan bangsa yang sadar bahwa masa depan ditentukan oleh bagaimana kita mendidik anak-anak hari ini. (isn)